Friday, September 11, 2009

Mengenang 100 Hari Thomas Marwata

Sekarang aku sudah berumur 17 tahun dan memasuki usia 18 tahun. Fase hidupku sudah berubah. Namun saat-saat di mana aku bersama denganmu tak pernah dapat kulupakan, meski umur ini terus bertambah dan banyak bagian hidupku menghilang satu persatu.

Aku mengenalmu semenjak aku lahir ke dunia ini. Aku mengenalmu sebagai sosok yang patut kuhormati dan sosok yang misterius bagiku. Kutahu, semenjak aku lahir, penyakit telah mengegerogoti tubuhmu, perlahan tapi pasti, kau melemah selalu. Namun kau tetap menyayangiku meski dengan berbagai kelemahanmu itu.

Setiap kali, di saat bibi mengantarmu datang ke rumah, aku diajari oleh ibuku untuk selalu membantumu berjalan dan menuntunmu untuk masuk ke dalam rumahku, sampai akhirnya kau pun duduk di salah satu kursi di dalam rumahku. Setelah itu, aku tak akan pernah lupa untuk selalu mencium pipimu dan kemudian menyodorkan pipiku sendiri untuk kau cium.

Kadang ada saatnya di mana aku serta ayah, ibu, dan kedua kakakku datang ke rumahmu. Di mana saat kami semua datang, kami akan langsung menyapamu jika kau sedang tidak tidur, atau menunggu sampai kau bangun dan kemudian menyapamu. Aku ingat, setiap kali aku selesai memberikan ciuman mesra di kedua pipimu, dengan suara yang agak parau kau akan bertanya kepadaku, “Kamu sudah makan belum?”.

Di tengah kepolosan masa kecilku, di saat aku sudah makan, maka jawabku, “Sudah, Kek. Megi sudah makan.” Dan kata-kata ini kuucapkan langsung di samping telinga kirimu, karena aku tahu semenjak aku kecil, pendengaranmu sudah terganggu.

Seiring dengan perumbuhanku, kau melihat saat aku sudah mulai masuk ke Sekolah Dasar. Kau terlihat bangga saat melihatku beranjak tumbuh dewasa. Di tengah-tengah kelemahan dan keterbatasan yang kau miliki, kau masih memperhatikan anak-anakmu dan juga cucu-cucumu. Kau masih mendoakan mereka setiap waktu pada saat doa pagi ataupun doa sore. Kami semua tahu, semua anggota keluargamu, baik yang dekat maupun yang jauh, kau doakan satu-persatu. Dan kau ucapkan nama-nama mereka dalam doamu.

Aku pun ingat pada sebuah hari yang penuh kenangan, aku, ayah, dan ibu datang untuk mengunjungimu dan melihat keadaanmu di rumah bibi. Hari itu aku hanya datang dan mencium pipimu, kemudian aku duduk diam menunggu ayah dan ibu berbicara dengan bibi. Di saat pembicaraan telah selesai maka tibalah saat aku untuk pamit pulang. Saat aku mendekatkan bibirku ke telingamu untuk pamit pulang, kau menggenggam tanganku dan menyuruhku untuk tinggal sebentar, kau mengarahkan diriku dengan tangan kirimu yang kaku itu untuk duduk di pangkuanmu. Aku tersentak bingung, karena ayah dan ibu semula menyuruhku untuk pamit pulang. Kupandang wajah ibuku, dia menyiratkan bahwa biarkan saja bilang kau ingin berbicara denganku. Maka aku pun duduk di atas paha kirimu, karena aku tahu, kaki kananmu yang lumpuh tak akan sanggup menahan berat tubuhku yang pada saat itu masih kecil.

Kau menceritakan padaku sebuah kisah, yang pada saat itu sama sekali tak kumengerti isinya, karena kau tak bisa lagi berbicara dengan cukup lancer, penyakit itu telah menggerogoti tubuhmu lebih jauh. Aku belajar untuk sabar dan tenang untuk mendengarkan ceritamu sampai selesai. Dan begitu kau sudah selesai menceritakan kisah itu, kau menyuruhku untuk pulang karena malam sudah larut. Aku tahu, pada hari itu aku tak mengerti inti dari cerita yang kau kisahkan padaku. Sampai keesokkan harinya, ibuku menceritakan kembali kisah yang diceritakanmu setelah aku bertanya.

Aku ingat, aku beranjak dewasa. Namun tubuhmu semakin lemah dari tahun ke tahun. Penyakit yang singgah di tubuhmu tak bisa disembuhkan, namun semangatmu tetap menyertai kehidupan kami. Aku ingat kau, aku, dan keluarga besar kita, pernah jalan-jalan ke beberapa tempat. Dan aku ingat, karena saat itu kau sudah tak sanggup lagi berjalan jauh meski menggunakan tongkat, ada kalanya kau harus menggunakan kursi roda dan saat itu aku akan mendorong kursi rodamu sejauh yang aku bisa. Kadang ada hal lucu di mana saat aku dengan bodohnya salah mendorong dan menyebabkan kakiku sendiri terlindas roda dan harus menahan rasa sakit selama perjalanan itu.

Tiba saat di mana penglihatanmu tak lagi setajam dulu. Memang usia tak dapat dikurangi. Kau sulit mengenali orang secara sekilas. Karena pertumbuhanku yang begitu pesat, kadang kau kaget seolah melihat orang asing di dalam rumahmu saat aku ada dalam rumahmu. Ada kalanya kau mengenaliku sebagai kakak laki-lakiku. Kadang kau menyebutku bukan sebagai “Megi” namun memanggilku dengan nama kakakku, yakni “Marcel”.

Bila kau ingat dengan kakak-kakakku, kadang aku merasa iri dengan mereka. Karena mereka mengenal sosokmu saat kau masih sehat dan segar bugar, sedangkan aku hanya mengenal sosokmu setelah kau telah dimakan oleh penyakit yang tak akan kunjung sembuh itu. Aku iri, aku ingin bermain-main denganmu. Namun karena penyakitmu, kau hanya dapat memperhatikan aku bermain. Aku ingin berbicara tentang banyak hal denganmu, namun aku hanya bisa mendengarkan segala perkataanmu, karena pendengaranmu sudah berkurang jauh. Tapi aku terus berpikir, selama kau masih hidup, masih banyak yang bisa dikenang.

Kek, aku ingat ketika aku SMP, di saat kakakku membawa calon istrinya di hadapanmu. Kau memandang seolah kau akan kehilangan dia, namun kau pun tak ingin menutup kebahagiaan yang terpancar dari wajahmu. Kau berkata dan menasehati mereka berdua. Meski kau tak dapat berbicara selancar dulu, kau tetap berusaha memberikan yang terbaik dari mereka. Dan di hari perkawinan mereka, dengan haru kau menerima cangkir berisi teh dari kakakku dan istrinya. Kulihat wajahmu begitu emosional seolah ingin tersenyum bahagia dan menangis terharu.

Kau tak pernah lupa pada kami semua. Aku ingat doamu semakin khusyuk di saat-saat menjelang pernikahan kakakku. Kau berdoa semakin khusyuk saat salah seorang anggota keluarga sedang sakit. Kau berdoa semakin khusyuk saat perjalanan-perjalanan aku dan kedua bibiku ke luar negeri.

Suatu hari, kau semakin melemah, kau menolak untuk memakan apapun yang disediakan untukmu. Seiring waktu tubuhmu semakin melemah, dan kau tak sanggup lagi menggerakkan anggota tubuhmu dengan baik. Tak ayal lagi, kami harus membawamu ke rumah sakit. Kami tak punya pilihan lain. Kutahu kau tak ingin tinggal di sana. Kau takut, seolah kau tak pernah bisa keluar lagi dari rumah sakit.

Kondisimu naik dan turun. Aku tak tahan saat harus melihat tubuhmu dipasang dengan selang-selang penunjang kehidupan, aku tak tahan saat melihat dirimu dimasuki sebuah selang dan kau meronta. Saat itu aku tak sanggup melihat wajahmu, aku hanya memegang tanganmu, berusaha agar kau tetap tenang meski sia-sia. Aku tahu kau menderita, dan kami di sini yang melihatmu pun merasakan penderitaan yang sama dalamnya.

Pada suatu hari, di tengah-tengah masa sakitmu, aku harus pergi selama seminggu lamanya. Kuberdoa dalam hatiku, aku tak ingin kau pergi saat ku tak berada di sisimu. Aku hanya mengatakan salam perpisahan saat kau tengah tertidur, meski aku mengatakannya saat kau sadar, mungkin kau tak menyadarinya, karena sering kali kau berada dalam kondisi antara sadar dan tak sadar.

Sepanjang kepergianku, aku terus menerus gelisah, tak sabar untuk segera pulang. Aku mendapat kabar terakhir bahwa kau keluar dari rumah sakit. Aku merasa sedikit lega, karena kau tak perlu merasakan ketakutan lagi di tempat itu.

Dua hari setelah kepulanganku, aku mendapat kesempatan untuk melihatmu lagi setelah seminggu kepergianku. Saat itu, bibiku menelepon ibuku, kondisinya di rumah mulai kritis. Aku berpikir, bila aku tak pergi hari ini juga, mungkin aku tak mendapat kesempatan lagi untuk melihatmu.

Aku, ibuku, dan kakakku (Michael), pergi ke rumahmu. Kau dalam kondisi sadar dan tak sadar, dan wajahmu diselimuti oleh rasa takut, mulutmu ingin mengatakan sesuatu namun yang keluar hanyalah gumam yang tak jelas. Ibuku mendaraskan doa, semua doa yang dapat dia ingat langsung dia ucapkan. Aku hanya dapat menangis sambil sesekali mengikuti ibuku berdoa.


Satu jam berlalu. Kami semua berdoa di sampingmu.

Dua jam berlalu. Kami semua pasrah dan menangis pilu.

Akhirnya aku dan kakakku memutuskan untuk pulang. Berhubung besok aku masih sekolah dan kakakku masih kerja. Kami berdua pulang meninggalkan rumahmu. Dan ibu tetap berada di sampingmu.

Sepanjang perjalanan pulang, aku dan kakakku berdiam diri. Memikirkan keadaanmu tanpa berkata atau berkomentar apapun. Masing-masing dari kami punya firasat. Kau akan segera pergi. Entah itu kapan. Dan itu membuat perasaan masing-masing dari kami galau.

Sesampai di rumah, semua hal menjadi jelas. Ibuku menelepon kepada ayahku. Kau telah pergi untuk selamanya. Setelah kami berdua pamit pulang. Hanya berbeda 3 hembusan nafas kau pergi. Ibu tak mau membuat kami khawatir di jalan. Maka kau membuat supaya kami tahu bahwa kau pergi di saat kami sampai di rumah.

Yang kulihat sekarang hanyalah wajah galau kakakku. Aku sendiri terduduk dan menangis meratapi kepergianmu. Menangis karena menyadari bahwa kau hanya ingin melihat diriku di saat terakhir, setelah aku pergi selama seminggu. Menangis karena merasa begitu bodoh kepada Tuhan untuk memohon agar bisa melihat saat-saat terakhirmu. Menangis karena aku merasa begitu bodoh untuk memohon agar kau bisa kembali seperti dulu…

Namun akhirnya semua telah terjadi… Kakek, kau tetap menjadi kenangan yang hidup dalam hatiku. Kapanpun, dan sampai akhir hayatku…

Nb. Mengenang 100 hari kepergian kakek pada tanggal 16 september 2009, sebenarnya bila beliau masih hidup hingga saat ini, 15 september merupakan hari ulang tahunnya yang ke-89. Namun Tuhan telah berkehendak bahwa beliau harus merayakan ulang tahun itu di sisi-Nya.

No comments:

Post a Comment